POLMAN, SULBARTODAY – Proyek normalisasi saluran pembuang Balai Wilayah Sulawesi V Kementerian PUPR, menuai keluhan dari masyarakat petani di Campalagian, Polman. Proyek ini mencakup normalisasi Saluran Pembuang Bata dan Saluran Pembuang Mate.
Keluhan utama masyarakat adalah karena pekerjaan normalisasi tidak dimulai dari muara (hilir), yang dinilai sangat berisiko menimbulkan banjir. Akibatnya, ratusan hektar sawah dikhawatirkan tergenang air dan mengalami gagal panen bahkan banjir akan sampai ke pemukiman warga.
Pekerjaan penggalian Normalisasi tersebut telah berlangsung sekitar dua minggu dengan capaian sepanjang 2 km dari total target 10 km.
TONTON VIDEONYA | KLIK DIATAS
“Intinya penggalian ini harus dimulai dari muara. Kalau tidak, air bisa meluap ke pemukiman dan sawah. Yang tadinya banjir hanya 50 cm, bisa jadi lebih parah,” ujar Safaruddin, petani asal Desa Lampoko sekaligus Ketua P3A Tajang Pamase.
Ia juga mengungkapkan bahwa selama empat tahun terakhir, petani di daerahnya selalu gagal panen akibat banjir. “Proyek ini bagus pak, tapi harus dimulai dari muara, bukan dari atas
“Buat apa ada proyek kalau ternyata hanya menjadi simalakama yang merugikan bagi petani maupun masyarakat pak, yang diharapkan masyarakat pak bisa terbebas dari banjir” Terangnya.
Keluhan lain datang dari kurangnya informasi yang diterima masyarakat terkait proyek tersebut. Tidak ada papan informasi proyek, dan warga hanya mendapatkan penjelasan dari pihak UPTD.
“Proyek sebelumnya pun tidak pernah ada sosialisasi. Tiba-tiba saja ada penggalian,” kata Abdullah salah satu warga.
Proyek normalisasi ini melintasi empat desa: yakni Desa Lampoko, Parappe, Katumbangan, dan Desa Botto. Dan tentunya dampak banjir jika itu terjadi akan dirasakan langsung petani dan masyarakat di Desa tersebut.
Warga juga menyoroti pentingnya pemasangan pemecah ombak di area muara agar sedimentasi tidak kembali menimbun saluran yang telah dinormalisasi.
“Kalau tidak dipasang pemecah ombak, dua tahun ke depan saluran ini akan tertimbun lagi di muara,” ujar warga lainnya.
Kepala UPTD Wilayah III, Subran, menyatakan sepakat dengan aspirasi masyarakat.
“Kami juga tidak setuju kalau muara tidak digali. Kalau hujan, air yang sudah digali di hulu bisa jadi genangan besar,” tegasnya saat dikonfirmasi, Jumat (1/8/25).
Sementara itu, Salehe, Satker PJPA Balai Sulawesi V di Mamuju, saat dihubungi via telefon oleh Kepala UPTD yang didengarkan langsung oleh masyarakat telah menyampaikan komitmennya untuk menggali saluran hingga ke muara.
TONTON VIDEONYA | KLIK DIATAS
“Insyaallah akan digali semua, termasuk saluran Pembuang Bata dan Pembuang Mate. Prioritas saat ini memang ke arah jembatan Botto, lalu dilanjutkan ke hilir dan selanjutnya akan melakukan penggalian di muara,” ujar Salehe
Menurutnya, total pekerjaan untuk Pembuang Bata adalah 10 km, dan Pembuang Mate juga 10 km. dan Kegiatan ini masuk dalam anggaran tahun 2025.
Namun demikian, masyarakat masih meragukan komitmen tersebut karena belum ada perjanjian tertulis. Mereka berharap 3 km penggalian menuju muara bisa diselesaikan terlebih dahulu sebelum pengerjaan ke hulu dilanjutkan.
Jika normalisasi tidak maksimal, UPTD memperkirakan sekitar 400 hektar sawah warga di wilayah Botto, Lampoko Parappe, dan Katumbangan terancam tergenang dan mengalami gagal panen.
“Kasihan masyarakat. Kalau hilirnya tidak digali, malah akan jadi kolam besar dan bukan menyelesaikan masalah, justru memperparah banjir,” ujar Subran.
Pihak UPTD juga menyesalkan kurangnya komunikasi awal dari Satker kepada masyarakat. Mereka berharap ke depan, setiap proyek bisa diawali dengan sosialisasi agar masyarakat tahu manfaat serta potensi dampaknya.
“Intinya, dari hasil mediasi terakhir, pihak Satker menyatakan 99% bahwa penggalian ke muara akan dikerjakan,” pungkas Subran.